Mengenang Rindu Akan Tanah Makkah
Maret 28, 2018
Titik-titik cahaya bertebaran di atas padang pasir yang
terlihat dari jendela bis yang aku tumpangi. Empat jam lamanya perjalanan dari
Masjid Bir Ali, tempat mengambil Miqat untuk memulai ibadah umrah dan
satu-satunya tempat Miqat yang dilewati dalam perjalanan Madinah menuju Mekkah.
Sepanjang perjalanan menuju Kota Makkah selalu disambut oleh hamparan padang
pasir yang menjadi penutup senja kala itu.
Ibuku berbisik di telingaku, “Kita sudah sampai di Mekkah.”
Dengan sambutan muka polosku, aku bergegas melihat langit
dengan harapan segera melihat Menara Abraj Al – Bait yang dibangga-banggakan
sebagai menara tertinggi di dunia. Ia tak terlihat dari kejauhan. Bagaimana
tidak? Kota Makkah diselimuti bukit berbatu yang ditumpangi perumahan warga
sipil Mekkah dan membelahnya membentuk jalan yang dilalui kendaraan.
Tak lama kemudian kami sampai di hotel yang akan kami
tmpangi selama berada di Mekkah dan taraaa, inilah tanah suci Makkah Al
Mukkaramah. Sejenak aku turun dari bis dan menghirup atmosfer tanah suci ini,
pandangan segera merujuk ke atas untuk melihat Menara Abraj Al – Bait yang
terlihat sangat dari lobby hotel, mengingat hotel ini terletak di belakang
Menara Abraj Al – Bait. Sesegera mungkin aku mengambil air wudhu dan
melanjutkan perjalanan menuju Masjidil Haram.
![]() |
Kawasan Ka'bah Dilengkapi Menara Abraj - Al Bait Ketika Malam |
Kami mengawali ibadah Shalat Isya setelah memasuki pintu
masuk masjid yang berada tepat di depan Menara Abraj Al – Bait, kemudian menuju
kawasan Ka’bah untuk melakukan Thawaf. Apa yang ada dibenakmu ketika pertama
kali berjumpa dengan Ka’bah? Kau pasti takjub dan terharu menjumpai kiblat umat
muslim di seluruh dunia ini. Waktu itu tepat tengah malam Thawaf dilakukan
dengan mengelilingi Ka’bah tujuh kali dan setiap waktu itulah Ka’bah paling
ramai dijajaki para jamaahnya.
![]() |
Kawasan Bukit Shafa |
Selanjutnya kami menuju Bukit Shafa yang tidak jauh dari
kawasan Ka’bah dan dari situ Ka’bah masih terlihat jelas. Jarak antara Shafa
dan Marwah tidak begitu jauh, tetapi cukup melelahkan untuk berjalan tujuh kali
melewatinya. Begitu selesai tepat di Bukit Marwah, dilakukan sesi pemotongan
beberapa helai rambut yang menandakan berakhirnya ibadah umrah.
Begitu hari-hari selanjutnya, shalat lima waktu selalu dilakukan
berjamaah di Masjidil Haram. Sesekali pula kami melakukan Thawaf di siang hari
tepat ketika suhu mencapai 37 derajat celcius, namun tidak begitu terasa sangat
panas ketika menyentuh dinginnya lantai Masjidil Haram dan sedikit meneguk air
zam-zam.
![]() |
Thawaf Ketika Suhu Mencapai 37 Derajat Celcius |
Di sinilah kesabaran mulai terasa diuji, dimana kami enggan
meninggalkan masjid ketika waktu Dhuhur menuju Ashar dan Maghrib menuju Isya.
Mengingat jarak antara pintu masjid dan tempat kami singgah terasa agak jauh
dan cukup menyita waktu.
![]() |
Ka'bah Terlihat dari Lantai 2 Masjidil Haram |
Meskipun
waktu luang terpakai untuk sekedar melakukan shalat sunnah ataupun membaca Al
Qur’an, melawan kantuk sangatlah tidaklah mudah. Begitu pula jika sudah
berurusan dengan masalah kakus, mengingat jarak shaf shalat yang sangat jauh
dari toilet. Dan kau perlu tahu, mencari pintu keluar masjidpun terasa susah
dan ditambah dengan posisi toilet yang berada di luar masjid, salah satunya
berada tepat di bawah Menara Abraj Al – Bait.
![]() |
Desain Bangunan Masjidil Haram |
![]() |
Sebelum Menuju Masjidil Haram |
Begitulah Makkah yang tidak ada habisnya untuk dikenang. Cukup menyita banyak rindu dan mengundang hasrat untuk kembali lagi menapakinya, tidak lain untuk menambah keimanan terhadapNya.
Gracias,
Kartikanofi
(Makkah, 4 - 10 Maret 2017)
0 komentar
Please leave a comment and I'll be back to visit your page. Let's make a bingo!