MENYAPA DESA TRADISIONAL TENGANAN DI UJUNG TIMUR PULAU DEWATA
November 22, 2018“Yakin nih mau menyusuri Karangasem?” Batinku sambil mengunyah sepotong roti tawar yang telah diolesi selai cokelat di balik tirai hotel di Kuta. Pagi itu diguyur hujan deras hingga air membanjiri sepanjang Jalan Legian, Kuta. Seperti kolam susu cokelat saja.
Akhirnya kegentingan berubah menjadi kenekatan. Tepat pukul
08.00 banjir mulai surut dan berangkatlah aku menuju Karangasem, saking dibuat
ngilu penasaran menelusuk Desa Tenganan yang dinobatkan sebagai desa terpencil
di Bali. Ia terletak di Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem, Bali Timur.
Perjalanan solo ditempuh selama dua jam, cukup menguras tenaga menggerakkan roda motor dari barat menuju ujung timur Pulau Bali. Ibarat membelah sepotong Pulau Dewata.
Nyatanya benar, desa ini memang terpencil. Butuh waktu 20
menit melewati jalanan sempit didampingi pepohonan. Tibalah aku di persimpangan
jalan. Kali ini aku kebingungan. Sungguh, aku benci dibuat linglung Sang
Hecate, Dewi Persimpangan Jalan. Tiba-tiba, seekor anjing melototiku dan
menggonggong keras seperti menyuarakan, “Belok kanan, bodoh!”
Pun, aku baru menyadari sebuah plang petunjuk menuju Desa
Tenganan terpampang jelas di samping anjing itu.
Begitu sampai di Desa Tenganan, aku disambut sebuah rumah
kecil seperti tempat loket memasuki sebuah tempat wisata dan seorang pria
berdiri di dalamnya sambil menyodorkan buku tamu. Tidak ada biaya tiket
memasuki Desa Tenganan, cukup mengisi buku tamu dan memberikan donasi sukarela
untuk pembangunan desa ini.
Seorang pria berbaju adat Bali dilengkapi sarung kotak-kotak
menyambut ramah dengan jabatan tangan, Pak Nyoman namanya. Beliau menemaniku
menelusuri keunikan Desa Tenganan Dauh Tukad ini. Apa saja keunikannya? Mari
kita simak satu per satu.
Sepanjang perjalanan aku dan Pak Nyoman saling melepas tawa
menceritakan kehidupan masing-masing. Pak Nyoman ini punya selera humor yang
gurih. Beliau memperkenalkanku pada tempat pemandian para warga Desa Tenganan.
Terdapat dua buah kolam pemandian dengan aliran mata air yang melimpah.
Di samping kanan kiri gerbang menuju tempat pemandian,
terdapat dua buah patung yang melambangkan laki-laki dan perempuan.
Setelah itu, Pak Nyoman mengajakku memasuki Banjar Kelod,
sebuah tempat menggelar rapat. Di depannya, terdapat sebuah bangunan batubara
seluas 4 meter persegi tertumpuk menjulang ke atas membentuk menara dan
ditumpangi dua buah kentongan besar. Ini yang disebut dengan Menara Kentongan
atau Bale Kul-kul.
Di dalam Banjar Kelod terdapat tiga buah balai. Dua balai
bernama Bale Gede yang dipakai untuk pemimpin rapat, satu balai lagi disebut
Bale Manca Gina yang dipakai untuk para anggota dan satu bangunan pusat yang
disebut patokan. Patokan ini digunakan sebagai altar pemujaan, karena sebelum
memulai rapat mereka memberikan sesaji untuk dewa di depan altar pemujaan.
Inilah pusat pertemuan para warga Tenganan. Di sini pula
tradisi Perang Pandan disuguhkan. Perang Pandan secara turun-temurun dilakukan
secara damai oleh para pemuda Tenganan.
Tradisi Perang Pandan |
Tanaman Pandan untuk Senjata dalam Perang Pandan |
“Bah, di mana-mana dewa perang selalu antusias dengan
pertumpahan darah,” batinku.
Mungkin Dewa Indra, Ares, Thor, Lucifer dan para dewa perang
di alam semesta ini senang berkumpul menggelar pesta bersama dengan segelas
darah sebagai pengganti wine dan tulang belulang sebagai kudapan. Ah sudahlah
lupakan! Fantasi macam apa ini?
Sudah setahun belakangan ini Tenganan mendapatkan bantuan
usaha dari Pertamina, yaitu pembuatan pupuk organik dari kotoran sapi.
Pak Nyoman mengantarkanku melihat kandang sapi di ujung
kebun. Saat memasuki kebun, aku melihat seperti seekor sapi diikat di tengah
perkebunan. Begitu mendekat, aku langsung bergidik. Ternyata ia seekor babi
pink montok yang dipelihara warga.
Letak kandang sapi berada di ujung kiri kebun. Delapan ekor
sapi berjejeran di dalam kandangnya, siap untuk diternakkan dan kotorannya
digiling membentuk pupuk.
Kandang Sapi |
Pak Nyoman adalah seorang pengrajin daun lontar dan ibunya
penenun Kain Gringsing khas Tenganan. Beliau mengajakku memasuki rumahnya,
menjelaskan pembuatan lontar dengan sangat antusias.
Lontar bukan lagi manuskrip yang dipuja-puja untuk
mewariskan falsafah dan adat Bali hingga ratusan tahun. Ia beralih fungsi
sebagai cenderamata yang diperjualbelikan sebagai buah tangan wisatawan Bali.
Kalender dari Lontar |
Gracias,
Kartikanofi
17 komentar
Menarik banget wisata sejarahnya mbak. Kalender dari lontar kayaknya cocok juga tuh, jadi buah tangan hehehe
BalasHapusBanget, pengen ke situ lagi pas ada tradisi perang pandan. Hehe iya, Mbak. Kalendernya bisa pula buat oleh oleh pacar, bisa diukir nama kita dan pasangan.
Hapuswah asri banget
BalasHapusIya masih asri banget, jarang ada kendaraan lalu lalang.
HapusWaah baru tau nih ada Desa Tenganan. Banyak yang belum tahu desa ini sebagai tempat wisata ya Mbak. Aku taunya juga cuma desa Penglipuran aja.
BalasHapusIya memang, Tenganan belum gencar promosi wisatanya.
HapusGusti tempatnya bagus, sepertinya bakal kukunjungi kalau pas ke Bali.
BalasHapusAku suka dengan desa-desa seperti ini
Harus banget ke sini, aku juga pengen banget balik ke Tenganan pas ada tradisi Perang Pandan. Biasanya pas bulan Juli.
HapusTerima kasih tulisannya mbak.. bagus banget. Gak cuma desanya tapi juga cara penyampaiannya. Saya dari Banyuwangi. Seingat saya udah 4 kali ke Bali. Tapi belum pernah ke sini
BalasHapusSemoga bisa mengunjungi lagi nanti.
Iya harus banget berkunjung ke Tenganan. Masih asri banget desanya.
HapusWahh seru yah mba. Itu masuknya bayar berapa eh mba? Trus bangunan-bangunannya, itu cuma jadi artefak aja atau masih di pergunakan masyarakatnya mba? semacam tempat pemandian gitu. keknya seru hahaha
BalasHapusSeru banget. Nggak ditarik biaya masuk, Mas. Kita cuma ngasih sumbangan sukarela.
HapusKalau bangunan semuanya ditempatin masyarakat asli Tenganan. Btw, kita orang luar Tenganan nggak boleh nginep di sana loh!
Jadi pengen ke sana....tar cari barengan dulu deh...
BalasHapusSegera rencanakan, bulan Juli aja. Pas ada festival perang pandan.
HapusBenar-benar desa unik. Secara jarak memang terpencil tapi kalau sudah disamperin turis gak terpencil lagi ya Mbak. Tahun depan aku niatin datang ke sini ah, terutama mau lihat perang pandan itu..
BalasHapusTapi menurutku sih nggak terlalu terpencil Mbak waktu jalan ke sana. Cuma jaraknya 15 menit dari jalan raya.
HapusKerumitan ukiran bali di banyak media termasuk daun lontar seperti ini memang keren.. Pemandangan kampungnya bener-bener menampakkan suasana damai..
BalasHapusPlease leave a comment and I'll be back to visit your page. Let's make a bingo!